Content

Sunday, May 28, 2006

Banyak Anak: Kenapa Takut?

Oleh: Andi Sri Suriati Amal

Almarhumah ibu saya pernah berpesan, “Jangan mau punya anak sedikit. Ibu saja yang punya anak lima masih terasa sedikit dan sering kesepian.” Maklumlah, jarak kelahiran anak-anaknya rata-rata 4 tahun. Jadi waktu saya baru SD, kakak sulung sudah kuliah dan tinggal sendiri. Begitu juga yang kedua dan seterusnya, hingga satu per satu menikah. Mulailah saat yang mengharukan itu. Ibu dan ayah tinggal berdua saja di rumah, kembali seperti saat mereka pertama kali hidup berumah tangga.

Kasihan memang. Namun syukurlah anak-anak ibu kelihatannya mau mengikuti nasehatnya. Kakak sulung saya dikaruniai lima orang anak, yang kedua ‘baru’ sepuluh, yang ketiga baru tiga, saya sendiri -insya Allah- baru empat, dan si bungsu baru dapat satu.

Bicara soal anak, suami saya bilang, “Nggak usah khawatir. Biar nambah lagi, toh yang besar-besar bakal kita kirim ke pesantren insya Allah”. Memang bisa terbayang kalau nanti anak-anak satu persatu pergi meninggalkan kita, entah ke pesantren, ke asrama atau tempat kos, betapa sepinya.

Saya pikir ada juga betulnya. Biar di rumah nggak pernah sepi, biarlah anak nambah terus. Selagi yang Maha Kuasa masih berkenan memberi, kenapa mesti ditolak. Sebab, belum tentu kalau kita minta, pasti diberi. Wong bukan kita yang menentukan. Apalagi Nabi kita tercinta sangat menganjurkan. “Sebaik-baik istri kalian adalah yang banyak melahirkan anak dan penuh cinta kasih”. “Kawinilah perempuan yang subur dan penuh cinta kasih, karena sesungguhnya di hari kiamat kelak aku akan bangga dengan banyaknya bilangan kalian dibanding umat-umat lain,” sabda beliau.

Kata orang, punya anak banyak repot. Saya kok kurang sependapat dengan ungkapan ini. Memang betul, anak-anak bikin kita repot, apalagi kalau sedang bertengkar atau ngambek bareng-bareng. Tapi itu kan perkara biasa. Sebentar kemudian kembali akur dan baik lagi. Tidak pernah dan nggak mungkin mereka ribut selama 24 jam. Kalau diperhatikan, sebenarnya lebih banyak masa-masa yang menyenangkan ketimbang merepotkan. Lagi pula, apakah tanpa mereka hidup kita akan mulus-mulus aja? Yah.. nggak juga kan? With or without them, life is like a box of chocolate, kata orang bule.

Pernah suatu kali, saat mengawasi anak-anak bermain di taman, saya ngobrol dengan tetangga –orang Turki punya anak satu- yang juga sedang duduk-duduk sambil memperhatikan anaknya. Mulanya saya duduk sendiri sambil membaca majalah, karena bayi saya tertidur di kinderwagen setelah dibawa muter-muter. Orang Turki itu (ibu-ibu lho!) mendekati saya, seraya berkata (dalam bahasa Jerman) yang kira-kira maksudnya begini:

“Kamu enak, ya. Anak kamu banyak, tetapi kelihatan bisa lebih santai ketimbang saya yang punya anak satu“.

“Ah, masa? Saya kira kamu justru lebih enak. Sebab, anak kamu cuma satu,“ jawab saya.

Sambil menggelengkan kepalanya dia pun balik menjawab, “Coba lihat, anak kamu bisa main sendiri dengan saudaranya tanpa nggangguin kamu. Kalau anak saya, sebentar-sebentar berteriak: mama....! mama...! Ah, capek saya dibuatnya. Di rumah juga begitu. Saya tengah memasak, diajak main. Sedang istirahat, diajak main.“

Akhirnya, diapun bercerita panjang lebar. “Saya dinasehati teman-teman agar punya anak lebih dari satu. Alasannya, punya anak satu itu ternyata lebih repot daripada punya banyak,” tuturnya.

Mendengar ‘curhat’nya itu, saya pun bersyukur. “Alhamdulillah. Puji syukur kehadirat Allah yang telah mengaruniai mereka. Semoga kami sanggup menjaga amanah dan mensyukuri anugerah yang tak terhingga itu”.

Kalau dipikir-pikir, memang ternyata lebih banyak untungnya kalau kita punya anak banyak. Kata orang, banyak anak banyak rezeki. Kenapa mesti khawatir? “Kamilah yang akan memberi rezeki kepada mereka, juga kepada kamu,” firman Allah dalam kitab suciNya (QS 17:31). Ini yang saya yakini.

Bukankah anak itu sendiri adalah rezeki. Betapa banyak orang menghabiskan rezekinya (yang berupa uang) demi mendapatkan anak. Betapa banyak pasangan suami istri yang memutuskan atau terpaksa berpisah gara-gara tidak dikaruniai anak. Karena itu, prinsip saya, jika kita bisa punya anak, kenapa takut punya banyak. “Jangan menampik jika mau diberi. Sebab, belum tentu Allah mau memberi, meskipun kita minta.”

Anak adalah perhiasan hidup (QS al-Kahfi 46), nikmat yang patut disyukuri (QS al-Isra’ 6), penyejuk mata dan pembelai jiwa bagi orang-orang yang bertaqwa (QS al-Furqan 74).

Dengan saudara-saudara kandungnya, anak-anak dapat belajar dan membiasakan diri berbagi perasaan. Mereka dibiasakan untuk bertolak-ansur. Tidak selalu keinginan dan permintaannya bisa terpenuhi. Mereka juga akan terlatih untuk kadang menang dan kadang kalah. Latihan-latihan itu mempercepat proses kematangan sosial anak. Sebaliknya, anak yang tidak pernah dididik untuk belajar take and give akan cenderung bersikap anarkis dan susah diatur.

Jika panjang umur dan dewasa kelak, anak (yang soleh tentunya) akan membela dan menjaga kita, bukan justru menitipkan orang tuanya ke panti jompo. Mereka bisa diharapkan untuk merawat kita ketika sakit, menuntun kita saat sakratul maut. Dan yang terpenting, anak juga yang akan mendoakan kita bila kita sudah meninggal. Sabda Rsulullah saw: Tidak ada yang dapat menolong seseorang yang sudah meninggal dunia, kecuali tiga perkara. Pertama, sedekah yang mengalir terus pahalanya. Kedua, ilmu yang bermanfaat bagi orang banyak. Dan ketiga, anak soleh yang mendoakan orangtuanya.

Banyak anak membuat harapan orangtua bisa beraneka ragam. Bayangkan kalau anak cuma satu, otomatis harapan hanya tercurah ke anak itu saja. Dan yang pasti banyak anak juga membuat rumah tidak pernah sepi.

Masalah? Itu sudah pasti ada. Tinggal bagaimana menyikapinya saja. Kata orang, kalau banyak anak, volume sabar mesti lebih. Walaupun lahir dari ayah dan ibu yang sama, setiap anak itu berbeda-beda. Rambut boleh sama hitam, kepala boleh sama bulat, tapi isi dan wataknya belum tentu sama. Setiap anak punya masalah masing-masing. Kita harus pandai-pandai mengatur dan me-manage mereka.

Dari awal, anak-anak perlu dilatih mandiri dan tidak tergantung pada orang tuanya. Mereka harus berani berpikir sendiri, mengambil keputusan dan mengatasi masalah sendiri. Perlu juga deskripsi kerja yang jelas di rumah sehingga anak-anak tidak menjadi beban orang tuanya karena harus diurus terus. Anak punya pekerjaan dan dunia sendiri. Anakmu bukan milikmu, kata Kahlil Gibran, penyair Lebanon yang masyhur itu. "They belong to the future", ujarnya.

Kebersamaan juga penting selalu dijaga, misalnya makan bareng atau shalat berjamaah. Tapi ada juga saatnya dimana satu anak saja yang diajak, misalnya ke toko kita ajak anak pertama. Satu saat anak nomor dua saja, sehingga mereka nantinya tahu giliran tanpa menimbulkan kecemburuan. Nah, di sini anak belajar untuk tidak mudah cemburu. Umpamanya lagi, anak pertama perlu kita belikan peralatan sekolah, sedang yang lain tidak, sebab belum perlu. Nah, kita bisa jelaskan kenapa kakak dibelikan sedang adik tidak. Ada saatnya lagi, adik dibelikan mainan, tapi kakak tidak perlu. Disini anak akan belajar terbuka dan mau mengalah.

Diatas itu semua, yang paling penting sekali adalah teladan yang baik dan doa yang tidak putus-putus dari kita, orang tua mereka. Allah telah mengajarkan kepada kita satu doa dalam FirmanNya: “Ya Tuhan kami, karuniakanlah kepada kami, dari pasangan hidup serta anak-anak kami, keturunan yang menyenangkan hati, dan jadikanlah kami teladan bagi orang-orang yang bertakwa (QS. 25;74).
Wallahu a'lam bis-showab.

Frankfurt am Main, 9 September 2005

Ibu Profesional


Oleh: Andi Sri Suriati Amal

Tulisan ini tidak bermaksud menggugat atau memojokkan ibu-ibu yang memilih untuk berperan ganda. Tidak juga bermaksud menghimbau mereka yang bekerja di luar rumah untuk meninggalkan pekerjaan mereka dan tinggal di rumah saja. Sebab, bagaimanapun, tinggal di rumah terkadang bukan pilihan yang tepat untuk sebagian orang. Tulisan ini hanyalah renungan mendalam seorang ibu rumah tangga biasa yang banyak menghabiskan waktunya bersama anak-anaknya.

Seperti anda, saya pun sering mendapat pertanyaan-pertanyaan yang ‘dramatic’ dari anak-anak saya. Misalnya, pertanyaan anak saya ketika kami lagi menyaksikan liputan televisi tentang bencana tsunami di Aceh. Tak sadar, air mata mengalir, terucap istighfar dan gumam ‘ya Allah’ berulang kali dari mulut saya. Anak saya itu spontan bertanya polos: “Kok Allah jahat, ya, Ma? Kenapa orang-orang itu dikasih bencana?“ Tercengang saya mendengar pertanyaan tiba-tiba itu. Tentu saja itu bukan pertanyaan pertamanya selama ini. Masih banyak lagi pertanyaan-pertanyaan lain yang tidak hanya memerlukan kebijakan dan intelektualitas untuk menjawabnya, tetapi juga kesabaran.

Pernahkah anda membayangkan seandainya pertanyaan-pertanyaan semacam ini dilemparkan oleh anak kita kepada orang lain yang kebetulan ada bersamanya, bukan orang tuanya sendiri. Kepada pembantu rumah kita misalnya, atau kepada ‘baby sitter’ yang kita percayakan untuk menjaga anak kita sepanjang hari ketika kita berada di tempat kerja. Bisakah kita mengharapkan ‘someone else’ itu memberikan jawaban cerdas dan mendidik atas pertanyaan anak-anak kita? Dapatkah mereka merespon aksi anak-anak itu sepanjang hari seperti yang kita harapkan? Apalagi dalam masa-masa yang dikenal sebagai golden years, saat-saat dimana kepribadian anak mulai terbentuk, yakni pada usia 0-5 tahun. Anak akan belajar dari orang-orang dan lingkungan sekitarnya tentang banyak hal. Terkadang lingkungan yang kurang mendukung atau tidak mendidik sewaktu anak masih kecil mengakibatkan dampak negatif bagi pertumbuhan kepribadian anak pada usia selanjutnya. Sangat disayangkan bila hal ini sampai terjadi pada anak-anak kita.

Merawat dan mendidik anak pada era informasi dan teknologi canggih seperti sekarang ini bukanlah perkara mudah. Seperti kita semua maklum, permainan anak dan tontonannya tidak lagi berupa hal-hal sederhana, tetapi perlu perhatian dan wawasan luas karena hal tersebut memang sudah menjadi bagian dari target kapitalisme global. Setiap bentuk permainan elektronik modern dan segala bentuk hiburan tentu membawa efek-efek positif sekaligus negatif pada jiwa anak. Hasilnya, anak kita bisa tumbuh menjadi pribadi yang konsumtif, hedonistik, manja atau cengeng, disamping dampak positif lain berupa kemandirian atau kemampuan mengaktualisasikan diri pada anak. Bila keadaan ini berterusan ―anak-anak dibiarkan ‘bersama’ orang lain during most of their walking hours— maka jangan kaget jika dikemudian hari kita ‘mengurut dada’, tidak mendapati mereka seperti yang kita harapkan. Padahal, itu semua merupakan konsekuensi logis dari keputusan kita mempercayakan pendidikan anak kepada someone else. Apakah itu yang kita inginkan?

Dari sini saya melihat betapa tidak adilnya kita kepada anak-anak jika kita memilih untuk bekerja full time di luar rumah. Delapan jam kerja plus dua jam dijalan pulang pergi ke tempat kerja, berbanding hanya 3 – 4 jam bersama mereka, benar-benar tidak berimbang dan tidak adil.

Mungkin berbeda halnya jika mereka sudah beranjak remaja. Sebab, biasanya anak-anak justru sudah tidak banyak memerlukan kita. Saya jadi teringat pengalaman pahit seorang ibu yang bekerja sebagai dosen sebuah universitas terkemuka di Malaysia. Ketika dia sudah sampai ke puncak kariernya, yaitu menjadi Professor, terbersit keinginannya untuk mengambil pensiun lebih awal. “Biar saya bisa dekat dengan anak-anak,” katanya. Namun belum sampai tiga bulan di rumah, dia sudah memutuskan untuk kembali lagi ke kampus. Di rumah ternyata dia kesepian. Betapa tidak? Sejak pagi sekali hingga petang anak-anaknya bersekolah. Sesudah itu mereka sibuk les dan punya acara sendiri dengan teman-temannya. This is a tragedy of modern family,” keluhnya sambil melempar pandangan kosong nan jauh. Waktu mereka masih kecil-kecil, ia tak sempat mengurus karena bekerja full-time meniti karir. Sekarang, disaat ia ingin menjadi ‘full-time mother’, justru anak-anak itu yang tak punya waktu untuk menerima kasih-sayang ibunya. Saya pun hanya bisa simpati dan ikut tertegun.

Dalam hal ini memang sebenarnya ada jalan tengah. Andaikan kita tetap harus bekerja di luar rumah, cukup bijaksana kiranya jika kita memilih pekerjaan yang tidak menuntut kita menghabiskan lebih banyak waktu di luar. Berada di rumah sebelum anak berangkat dan pulang dari sekolah adalah pilihan yang bijaksana. Sebab, bagaimanapun, potensi dan bakat yang kita miliki juga tidak boleh dibiarkan mati. Ditunda mungkin boleh karena alasan prioritas atau alasan waktu. Atau mencoba berkarir dan meraih pendapatan dari rumah juga bisa menjadi solusi yang bijak. Yang terpentingkan sebenarnya bagaimana kita tetap bekerja dan berpenghasilan tanpa mengabaikan urusan rumah tangga.

Pilihan untuk tinggal di rumah juga sesungguhnya memerlukan skill. Misalnya keterampilan memenej waktu, menyesuaikan keperluan dengan budget, pengaturan keuangan rumah tangga, training dan supervising anak-anak kita terutama dalam hal agama dan lain sebagainya. Karena itu kitapun dituntut untuk terus meningkatkan diri dalam hal ilmu mendidik anak menurut Islam, pengetahuan keislaman mengenai rumah-tangga dengan segala aspeknya, seperti pengaturan keuangan dan lain sebagainya. Jika kerja kantoran menuntut seseorang untuk profesional, maka seorang ibu rumah-tangga semestinya lebih profesional lagi, tidak asal-asalan.

Wallahu a'lam bis showab,

Tuesday, May 23, 2006

Mengenal Keluarga Rasulullah SAW

Istri-Istri Rasulullah SAW

Pada awalnya, keluarga Nabi Muhammad SAW tidak jauh berbeda dengan yang lain. Beliau menikah dengan Khadijah binti Khuwaylid, seorang saudagar kaya yang saat itu telah menjadi janda. Rasulullah telah bekerja sebagai manager ekspedisi perniagaan Khadijah sebelum beliau mengawininya.

Beliau sangat mencintai dan menyayangi Khadijah sampai akhir hayatnya, dan hanya menikah lagi sepeninggal Khadijah. Ada banyak kisah yang menceritakan betapa cinta dan sayangnya Rasulullah SAW kepada istrinya ini. Ismail bin Abu Khalid dari Abu Aufan ra mendengar Rasulullah saw bersabda: “Berbahagialah Khadijah karena ia akan menerima surga dan permata yang indah, tiada pernah terdengar pertengkaran atau kesulitan di sana”. Rasulullah juga pernah menyebutkan bahwa sebaik-baik perempuan adalah Maryam binti Imran dan Khadijah binti Khuwailid. Begitulah sehingga Aisyah ra seringkali cemburu setiap kali Rasulullah saw menyebut-nyebut nama Khadijah.

Pernah suatu kali karena tidak tahan mendengar Rasulullah menyanjung mendiang Khadijah, Aisyah berkata:

“Wahai Rasulullah…mengapa engkau selalu mengingat-ingat dia. Bukankah Allah telah menggantikannya dengan yang lebih baik dan lebih muda.”

Mendengar demikian, Rasulullah menjawab:

“Demi Allah… tidak demikian halnya! Allah tidak pernah memberikan pengganti yang lebih mulia darinya. Dialah yang beriman satu-satunya ketika semua orang mendustakanku. Dia yang menerima, dan membenarkan aku ketika semua orang mendustakanku. Dia pula yang melindungiku dengan hartanya di saat semua orang menyisihkan aku. Dia pulalah yang memberiku beberapa putra, sedang dari yang lain tidak mendapatkannya”.

Sejak itu Aisyah ra berjanji untuk tidak lagi menyebut-nyebut Khadijah kecuali dalam kebaikan.

Kesebelas perkawinan Rasulullah SAW dilatarbelakangi oleh beberapa hal: karena alasan pribadi, kebanyakannya adalah janda yang ditinggal mati suaminya. Bahkan beberapa diantaranya adalah janda yang tak seorangpun ingin mengawininya. Alasan lainnya sedikit politis, untuk menjalin hubungan dan membangun jaringan.

Berikut ini nama-nama “Ummahatu l-Mu’minin” menurut kronologi pernikahan mereka dengan Rasulullah SAW:

1). Rasulullah SAW menikah dengan Khadijah (556-619 M) pada tahun 595 M. Saat itu Khadijah telah berusia antara 40 dan 45 tahun. Rumah-tangga beliau bertahan mesra selama 25 tahun hingga wafatnya Khadijah. Tiga tahun sebelim Nabi hijrah ke Madinah. Dari perkawinan ini beliau dikaruniai tujuh orang anak: tiga putra (Al-Qasim dan Abdullah) yang meninggal dunia sewaktu masih kecil dan empat putri (Zainab, Ruqayyah, Umm Kaltsum, dan Fatimah). Khadijah meninggal pada umur 65 tahun dan tercatat sebagai orang pertama yang mengakui kerasulan suaminya.

2). Selang beberapa lama setelah wafatnya Khadijah r.a, Nabi Muhammad SAW menikahi seorang wanita Quraish, Saudah binti Zam’a (596 – 674 M) pada tahun 631 M, ketika Saudah berumur 35 tahun. Dia adalah janda dari Sakran bin 'Amr bin Abdi Syams yang turut berhijrah ke Habsyah (Abyssinia, Ethiopia). Sejak menjanda, ia hidup sebatang kara. Andai kembali ke keluarganya ia pasti dipaksa menjadi kafir. Oleh karena itu, Nabi menyelamatkannya dengan menikahinya

3). A’isyah (614-678 M) adalah putri dari Abu Bakr. Dia berumur antara 6 hingga 9 tahun ketika Rasulullah menikahinya. Tetapi mereka baru bercampur setelah Aisyah cukup umur, yaitu pada tahun 623/624 M. Aisyah ra adalah satu-satunya istri Rasulullah saw yang dinikahi saat masih gadis. Banyak kelebihan yang dimilikinya terutama dalam hal kecerdasan, keilmuan serta kepahlawanannya. Tidak mengherankan, sebab ia mendapat bimbingan langsung dari Rasulullah saw dalam hal ini. Selain terkenal dengan kemurahan hati dan kedermawanannya, Aisyah juga dikenal tekun beribadah. Ia diakui sangat cerdas dan mempunyai ingatan yang kuat. Maka banyak pemuka sahabat yang bertanya kepadanya tentang sebagian hukum-hukum yang sulit bagi mereka. Sejumlah ayat al-Qur’an diriwiyatkan telah turun berkenaan dengan Aisyah. Di antaranya ayat tentang dibolehkannya tayamum dalam ketiadaan air. Begitu pula ayat yang menampik tuduhan negatif (hadits al-ifk) dan membersihkan dirinya dari fitnah.

4). Hafsah, 18, adalah putri dari Umar bin al-Khattab dan seorang janda dari Khunais bin Hudzaifah yang gugur sebagai syahid dalam Perang Badar. Beliau dinikahi Rasulullah saw tidak lama setelah perang usai. Ia pernah ikut dalam ekspedisi ke Abyssinia dan kawin dengan Rasulullah saw pada tahun 625 M. Rasulullah saw pernah ingin menceraikannya, akan tetapi dicegah oleh Malaikat Jibril, dan tentang hal ini, ada dua pendapat yang berbeda. Satu menyebutkan bahwa Jibril datang setelah Rasulullah saw menceraikannya. Jibril berkata, “Kembalilah kepada Hafsah. Dialah wanita yang tekun berpuasa dan bangun di tengah malam. Dia wanita yang pantas menjadi istrimu kelak di surga.” Riwayat lain menyebutkan bahwa Jibril melarang perceraian itu ketika Rasulullah saw memutuskan untuk menceraikannya, yakni sebelum perceraian itu terjadi. Hafsah ra lahir pada tahun 607 M. Para ahli sejarah berbeda pendapat mengenai tahun wafatnya. Ada yang mengatakan pada 648 M, ada yang mengatakan pada 662 M dan ada juga yang mengatakan belai wafat pada 665 M.

5). Zainab binti Khuzaimah adalah janda dari ‘Ubaidah. Beliau dikenal sebagai Umm al-Masakin atau ibu orang miskin karena kedermawanannya. Lahir pada tahun 595 M. Hanya sempat dua bulan bersama Rasulullah, Zainab meninggal dunia pada usia 31 tahun, yaitu pada tahun 626 M.

6). Ummu Salamah (599–683 M) adalah janda dari Abu Salamah. Nama sebenarnya adalah Hind binti Abi Umayyah. Ada satu kisah dimana Abu Salama menceritakan kepada istrinya tentang kemuliaan Rasulullah saw yang amat dicintainya. Yaitu bahwa Rasulullah saw telah bersabda: “Siapapun yang tertimpa musibah dan mengucap inna lillahi wa inna ilaihi raji’un”, dan berdoa dengan: “Ya Allah… saya menyerahkan musibah yang kualami ini kepada-Mu. Ya Allah…gantilah untukku dengan yang lebih baik”, pasti Allah akan menggantikannya dan mengabulkan permohonan itu. Doa dan ucapan itulah yang diucapkan Ummu Salamah kala mendengar Abu Salamah gugur sebagai syahid dalam satu pertempuran. Ketika selesai masa iddahnya, datang Abu Bakar ra meminangnya. Ummu Salamah menolak pinangan itu. Kemudian datanglah utusan Rasulullah saw meminangnya. Akhirnya mereka pun menikah dengan pemberian yang sama untuk semua istri.

7). Zainab binti Jahsy, 40 tahun, adalah mantan istri Zaid bin Haritsah, anak angkat Rasulullah saw. Setelah diceraikan suaminya, Zainab dinikahi oleh Rasulullah saw atas perintah Allah, meskipun beliau pada awalnya enggan dan khawatir akan dikritik masyarakat. Namun perkawinan ini agak istimewa, karena pada acara walimahnya disuguhkan daging dan roti. Zainab binti Jahsy meninggal pada tahun 641 M pada usia antara 50 dan 53 tahun pada masa awal pemerintahan Khalifah Umar.

8). Juwairiyah binti al-Harits (605-670 M), Nabi saw menikahinya untuk melunakkan hati sukunya kepada Islam. Ia putri dari al-Harits bin Dhirar, pemimpin Bani Mustalik yang pernah berkomplot untuk membunuh Nabi saw. Namun kemudian berhasil ditaklukkan.

9). Ummu Habiba binti Abi Sufyan (591-665 M) adalah janda dari ‘Ubaid dan putri dari Abu Sufyan, seorang pembesar Quraisy yang amat disegani di Mekkah dan dikenal paling gigih menentang dakwah Nabi Muhammad saw. Nama asli Ummu Habibah adalah Ramlah. Rasulullah saw menikahinya dengan lewat seorang utusan karena saat itu Ummu Habibah sedang berada di Abyssinia. Beliau wafat pada zaman pemerintahan Mu'awiyah.

10). Shafiyyah binti Huyayy (628–672 M) adalah janda dari Kinanah, salah seorang tokoh Yahudi yang terbunuh dalam perang Khaibar. Shafiyah adalah salah satu istri Rasulullah saw yang berlatarbelakang etnis Yahudi. Sukunya diserang karena telah melanggar perjanjian yang sudah mereka sepakati dengan kaum Muslimin. Shafiyyah termasuk salah seorang tawanan saat itu. Nabi berjanji menikahinya jika ia masuk Islam. Maka masuklah ia dalam Islam dan menikah dengan Rasulullah saw pada usia 17 tahun pada 628 M.

11). Maimunah binti al-Harits (602- 681 M) adalah saudara perempuan ‘Abbas, janda dari Abd al-Rahman bin Abdil-Uzza. Ketika dinikahi oleh Rasulullah saw, Maimuna sudah berusia 51 tahun. Ia adalah istri terakhir Nabi. Beliau menikahinya sebagai penghormatan bagi keluarganya yang telah saling tolong menolong dengannya.

Rasulullah juga mempunyai dua orang hamba sahaya: 1) Rayhanah binti Zayd, seorang Yahudi Bani Nadhir mantan tawanan perang yang kemudian dibebaskan dan dinikahi oleh Rasulullah saw. 2) Mariyah, seorang hamba sahaya yang di hadiahkan kepadanya oleh penguasa Mesir. Darinya lahir putra Rasulullah saw yang bernama Ibrahim (meninggal ketika masih berumur dua tahun).

Frankfurt, 8 November 2005.

(Andi Sri Suriati Amal, dari berbagai sumber)

Menjadi Istri Sholehah

ِ

Oleh: Andi Sri Suriati Amal*

Dulu di kampung, seorang istri kiyai sering menarik perhatianku. Selain cantik (kata orang, ia mirip Titi Sandora) dan lembut, ia juga sangat taat beragama. Selalu berhijab dan jarang sekali keluar dari rumah, ia dikenal sangat dekat lagi penuh kasih sayang kepada anak-anak santri yang ‘mondok’ di rumahnya. Hari-harinya dilalui bersama suaminya, mengasuh dan mendidik para santri yang waktu itu jumlahnya hanya puluhan (kebanyakan anak-anak yatim dari berbagai pelosok daerah). Dengan penuh keikhlasan dan kesungguhan ia membantu suaminya mengurus segala keperluan santri layaknya mengurus anaknya sendiri tanpa pamrih, dari mulai memasak (tiga kali setiap hari untuk puluhan orang!) hingga mengurus santri yang sakit. Ya, tanpa pamrih karena pesantrennya itu tidak memungut bayaran sesen pun dari santri-santrinya sampai hari ini. Pokoknya segala sesuatu tentang dirinya begitu sempurna di mataku. Kala itu aku sering berangan-angan menjadi istri sholehah seperti beliau.

Sebenarnya cukup banyak kisah-kisah istri teladan yang dapat dibaca dari buku-buku sejarah. Sebutlah misalnya kisah keteladanan Khadijah binti khuwailid ra, Fatimah puteri Rasulullah, Asiyah binti Muzahim dan banyak lagi. Rasulullah sendiri telah mengajarkan kepada kita ciri-ciri istri sholehah. Yaitu wanita yang “apabila diperintah ia taat, apabila dipandang menyenangkan hati, dan apabila suaminya tidak berada di rumah, menjaga dirinya dan harta suaminya.”

Dilihat sepintas, ajaran Nabi SAW itu sangat mudah untuk dilaksanakan. Semua orang sepertinya bisa melakukannya. Tapi kenyataannya kenapa tidak banyak wanita yang bisa sampai ke derajat ini. Bila seorang wanita telah mengerjakan shalat lima waktu, berpuasa di bulan ramadhan, taat kepada suami dan menjaga kehormatan dirinya, maka masuklah ia ke surga. Satu lagi tuntunan Islam kepada kaum wanita khususnya bagi mereka yang sudah berumah-tangga. Hampir setiap langkahnya, terutama yang berhubungan dengan kehidupan rumah-tangganya akan selalu mendapatkan pahala.

Perjuangan menegakkan pilar-pilar rumah-tangga agar kokoh, kuat dan harmonis mendapatkan nilai dan pahala tersendiri. Tidak tanggung-tanggung, pahala yang dijanjikan sama dengan pengorbanan para pejuang yang berperang di jalan Allah. Seperti dikisahkan, suatu hari beberapa wanita mendatangi Rasulullah SAW dan bertanya: “Ya Rasulullah. Kaum lelaki kembali dengan membawa pahala perjuangan di jalan Allah, sedangkan kami [perempuan] tidak mempunyai peluang seperti mereka?” Mendengar ini beliau pun bersabda: “Jangan khawatir, bertenanglah! Mengurus rumah tangga kalian masing-masing dengan sungguh-sungguh dapat mengejar pahala syahid di jalan Allah seperti mereka.”

Akan tetapi, mengapa kelak mayoritas penghuni neraka dikatakan terdiri dari kaum wanita? Pertanyaan ini seringkali mengganggu hatiku. Setelah menjalani sendiri hampir sepuluh tahun kehidupan rumah-tangga yang dikenal sebagai ladang pahala ini, aku masih merasa sangsi apakah aku sudah tergolong dalam kategori istri sholehah seperti dimaksud itu. Ternyata … oh ternyata … betapa susahnya.

Mendirikan rumah tangga ternyata tidaklah seindah kisah kasih dalam cerita novel-novel cinta. Mengurus rumah tangga, mengasuh dan mendidik anak-anak ternyata bukanlah perkara mudah dan ringan. Berbagai tantangan dan cobaan senantiasa mengganggu. Berbagai macam ujian datang silih berganti. Pekerjaan-pekerjaan rumah yang seolah tidak pernah ada habisnya bukan saja menguras tenaga dan pikiran tapi juga betul-betul menguji kesabaran.

Karena itu tidak salah jika pahalanya sama dengan orang yang berjuang di jalan Allah. Menjaga agar rumah senantiasa bersih dan rapi, amatlah susah. Memelihara diri sendiri untuk selalu menyenangkan bila di pandang suami tercinta pun bukan hal yang mudah. Keinginan untuk selalu mengeluh justru yang lebih sering muncul. Tidak mengherankan jika Fatimah ra konon sering juga mengeluh perihal beratnya mengurus rumah tangga kepada Rasulullah saw.

Persoalan yang aku alami ini sebenarnya bukan hal yang baru. Telah banyak dibahas oleh para ahli di bidangnya. Berbagai macam kiat dan tips-tips sudah diberikan. Mulai dari cara memenej waktu sampai kepada cara memenej qalbu. Hal-hal seperti ini memang banyak membantu dalam meningkatkan kecerdasan dan keterampilan seorang istri sholehah. Tapi yang terpenting dari semua itu menurutku adalah kecerdasan mensyukuri nikmat. Hal ini kelihatannya sepele sekali, tapi justru inilah yang sering dilupakan orang. Menurutku suatu pilihan yang cerdas dalam menyikapi setiap keadaan adalah bersyukur.

Bahwa kita direpotkan oleh urusan anak-anak adalah suatu kesyukuran. Karena ternyata kita termasuk orang-orang yang terpilih diamanahi tanggung-jawab ini di antara sekian banyak ’pasutri’ yang tidak beruntung. Bahwa anak-anak kita masih bisa bertengkar, kejar-kejaran dan membuat seisi rumah seperti ’kapal pecah’ pun patut kita syukuri. Karena itu petanda mereka sehat wal afiat, ketimbang diam saja sepanjang hari karena sakit. Bahkan ketika kita tidak sempat atau belum mengecap kehidupan rumah-tangga pun tentunya masih banyak hal yang patut kita syukuri. Namun sekali lagi, tidak banyak orang yang memiliki kecerdasan ini. Kecenderungan untuk berkeluh-kesah yang justru lebih banyak terjadi.

La in syakartum la aziidannakum, jika kalian bersyukur, maka aku akan menambah nikmatmu. Jelas dari konteks ayat tersebut, bahwa bersyukur itu adalah pembuka bagi nikmat-nikmat yang lain. Dengan bersyukur akan melapangkan dada dan meringankan pekerjaan. Dengan bersyukur juga menurutku membuat orang sabar dan bisa menerima serta menjalani peran yang diberikan oleh Allah swt dalam pentas kehidupan ini.

Jadi kunci utama yang bisa mengantarkan kita menjadi istri sholehah adalah bersyukur. Dengan bersyukur maka kita akan menjadi istri yang sholehah. Bersyukur kepada Allah yang telah mengaruniai kita suami. Mau bersyukur dan pandai berterima kasih akan mendorong kita untuk melaksanakan tanggung-jawab sebagai istri dan ibu rumah-tangga dengan lebih baik lagi. Dan akhirnya dengan syukur akan menjadikan kita istri yang dicintai Allah, disayang suami dan diselamatkan dari api neraka.

Wallahu a’lam bis-showab,
Frankfurt/Main, 5 Maret 2006