Content

Sunday, May 28, 2006

Banyak Anak: Kenapa Takut?

Oleh: Andi Sri Suriati Amal

Almarhumah ibu saya pernah berpesan, “Jangan mau punya anak sedikit. Ibu saja yang punya anak lima masih terasa sedikit dan sering kesepian.” Maklumlah, jarak kelahiran anak-anaknya rata-rata 4 tahun. Jadi waktu saya baru SD, kakak sulung sudah kuliah dan tinggal sendiri. Begitu juga yang kedua dan seterusnya, hingga satu per satu menikah. Mulailah saat yang mengharukan itu. Ibu dan ayah tinggal berdua saja di rumah, kembali seperti saat mereka pertama kali hidup berumah tangga.

Kasihan memang. Namun syukurlah anak-anak ibu kelihatannya mau mengikuti nasehatnya. Kakak sulung saya dikaruniai lima orang anak, yang kedua ‘baru’ sepuluh, yang ketiga baru tiga, saya sendiri -insya Allah- baru empat, dan si bungsu baru dapat satu.

Bicara soal anak, suami saya bilang, “Nggak usah khawatir. Biar nambah lagi, toh yang besar-besar bakal kita kirim ke pesantren insya Allah”. Memang bisa terbayang kalau nanti anak-anak satu persatu pergi meninggalkan kita, entah ke pesantren, ke asrama atau tempat kos, betapa sepinya.

Saya pikir ada juga betulnya. Biar di rumah nggak pernah sepi, biarlah anak nambah terus. Selagi yang Maha Kuasa masih berkenan memberi, kenapa mesti ditolak. Sebab, belum tentu kalau kita minta, pasti diberi. Wong bukan kita yang menentukan. Apalagi Nabi kita tercinta sangat menganjurkan. “Sebaik-baik istri kalian adalah yang banyak melahirkan anak dan penuh cinta kasih”. “Kawinilah perempuan yang subur dan penuh cinta kasih, karena sesungguhnya di hari kiamat kelak aku akan bangga dengan banyaknya bilangan kalian dibanding umat-umat lain,” sabda beliau.

Kata orang, punya anak banyak repot. Saya kok kurang sependapat dengan ungkapan ini. Memang betul, anak-anak bikin kita repot, apalagi kalau sedang bertengkar atau ngambek bareng-bareng. Tapi itu kan perkara biasa. Sebentar kemudian kembali akur dan baik lagi. Tidak pernah dan nggak mungkin mereka ribut selama 24 jam. Kalau diperhatikan, sebenarnya lebih banyak masa-masa yang menyenangkan ketimbang merepotkan. Lagi pula, apakah tanpa mereka hidup kita akan mulus-mulus aja? Yah.. nggak juga kan? With or without them, life is like a box of chocolate, kata orang bule.

Pernah suatu kali, saat mengawasi anak-anak bermain di taman, saya ngobrol dengan tetangga –orang Turki punya anak satu- yang juga sedang duduk-duduk sambil memperhatikan anaknya. Mulanya saya duduk sendiri sambil membaca majalah, karena bayi saya tertidur di kinderwagen setelah dibawa muter-muter. Orang Turki itu (ibu-ibu lho!) mendekati saya, seraya berkata (dalam bahasa Jerman) yang kira-kira maksudnya begini:

“Kamu enak, ya. Anak kamu banyak, tetapi kelihatan bisa lebih santai ketimbang saya yang punya anak satu“.

“Ah, masa? Saya kira kamu justru lebih enak. Sebab, anak kamu cuma satu,“ jawab saya.

Sambil menggelengkan kepalanya dia pun balik menjawab, “Coba lihat, anak kamu bisa main sendiri dengan saudaranya tanpa nggangguin kamu. Kalau anak saya, sebentar-sebentar berteriak: mama....! mama...! Ah, capek saya dibuatnya. Di rumah juga begitu. Saya tengah memasak, diajak main. Sedang istirahat, diajak main.“

Akhirnya, diapun bercerita panjang lebar. “Saya dinasehati teman-teman agar punya anak lebih dari satu. Alasannya, punya anak satu itu ternyata lebih repot daripada punya banyak,” tuturnya.

Mendengar ‘curhat’nya itu, saya pun bersyukur. “Alhamdulillah. Puji syukur kehadirat Allah yang telah mengaruniai mereka. Semoga kami sanggup menjaga amanah dan mensyukuri anugerah yang tak terhingga itu”.

Kalau dipikir-pikir, memang ternyata lebih banyak untungnya kalau kita punya anak banyak. Kata orang, banyak anak banyak rezeki. Kenapa mesti khawatir? “Kamilah yang akan memberi rezeki kepada mereka, juga kepada kamu,” firman Allah dalam kitab suciNya (QS 17:31). Ini yang saya yakini.

Bukankah anak itu sendiri adalah rezeki. Betapa banyak orang menghabiskan rezekinya (yang berupa uang) demi mendapatkan anak. Betapa banyak pasangan suami istri yang memutuskan atau terpaksa berpisah gara-gara tidak dikaruniai anak. Karena itu, prinsip saya, jika kita bisa punya anak, kenapa takut punya banyak. “Jangan menampik jika mau diberi. Sebab, belum tentu Allah mau memberi, meskipun kita minta.”

Anak adalah perhiasan hidup (QS al-Kahfi 46), nikmat yang patut disyukuri (QS al-Isra’ 6), penyejuk mata dan pembelai jiwa bagi orang-orang yang bertaqwa (QS al-Furqan 74).

Dengan saudara-saudara kandungnya, anak-anak dapat belajar dan membiasakan diri berbagi perasaan. Mereka dibiasakan untuk bertolak-ansur. Tidak selalu keinginan dan permintaannya bisa terpenuhi. Mereka juga akan terlatih untuk kadang menang dan kadang kalah. Latihan-latihan itu mempercepat proses kematangan sosial anak. Sebaliknya, anak yang tidak pernah dididik untuk belajar take and give akan cenderung bersikap anarkis dan susah diatur.

Jika panjang umur dan dewasa kelak, anak (yang soleh tentunya) akan membela dan menjaga kita, bukan justru menitipkan orang tuanya ke panti jompo. Mereka bisa diharapkan untuk merawat kita ketika sakit, menuntun kita saat sakratul maut. Dan yang terpenting, anak juga yang akan mendoakan kita bila kita sudah meninggal. Sabda Rsulullah saw: Tidak ada yang dapat menolong seseorang yang sudah meninggal dunia, kecuali tiga perkara. Pertama, sedekah yang mengalir terus pahalanya. Kedua, ilmu yang bermanfaat bagi orang banyak. Dan ketiga, anak soleh yang mendoakan orangtuanya.

Banyak anak membuat harapan orangtua bisa beraneka ragam. Bayangkan kalau anak cuma satu, otomatis harapan hanya tercurah ke anak itu saja. Dan yang pasti banyak anak juga membuat rumah tidak pernah sepi.

Masalah? Itu sudah pasti ada. Tinggal bagaimana menyikapinya saja. Kata orang, kalau banyak anak, volume sabar mesti lebih. Walaupun lahir dari ayah dan ibu yang sama, setiap anak itu berbeda-beda. Rambut boleh sama hitam, kepala boleh sama bulat, tapi isi dan wataknya belum tentu sama. Setiap anak punya masalah masing-masing. Kita harus pandai-pandai mengatur dan me-manage mereka.

Dari awal, anak-anak perlu dilatih mandiri dan tidak tergantung pada orang tuanya. Mereka harus berani berpikir sendiri, mengambil keputusan dan mengatasi masalah sendiri. Perlu juga deskripsi kerja yang jelas di rumah sehingga anak-anak tidak menjadi beban orang tuanya karena harus diurus terus. Anak punya pekerjaan dan dunia sendiri. Anakmu bukan milikmu, kata Kahlil Gibran, penyair Lebanon yang masyhur itu. "They belong to the future", ujarnya.

Kebersamaan juga penting selalu dijaga, misalnya makan bareng atau shalat berjamaah. Tapi ada juga saatnya dimana satu anak saja yang diajak, misalnya ke toko kita ajak anak pertama. Satu saat anak nomor dua saja, sehingga mereka nantinya tahu giliran tanpa menimbulkan kecemburuan. Nah, di sini anak belajar untuk tidak mudah cemburu. Umpamanya lagi, anak pertama perlu kita belikan peralatan sekolah, sedang yang lain tidak, sebab belum perlu. Nah, kita bisa jelaskan kenapa kakak dibelikan sedang adik tidak. Ada saatnya lagi, adik dibelikan mainan, tapi kakak tidak perlu. Disini anak akan belajar terbuka dan mau mengalah.

Diatas itu semua, yang paling penting sekali adalah teladan yang baik dan doa yang tidak putus-putus dari kita, orang tua mereka. Allah telah mengajarkan kepada kita satu doa dalam FirmanNya: “Ya Tuhan kami, karuniakanlah kepada kami, dari pasangan hidup serta anak-anak kami, keturunan yang menyenangkan hati, dan jadikanlah kami teladan bagi orang-orang yang bertakwa (QS. 25;74).
Wallahu a'lam bis-showab.

Frankfurt am Main, 9 September 2005

No comments: