Content

Tuesday, May 23, 2006

Menjadi Istri Sholehah

ِ

Oleh: Andi Sri Suriati Amal*

Dulu di kampung, seorang istri kiyai sering menarik perhatianku. Selain cantik (kata orang, ia mirip Titi Sandora) dan lembut, ia juga sangat taat beragama. Selalu berhijab dan jarang sekali keluar dari rumah, ia dikenal sangat dekat lagi penuh kasih sayang kepada anak-anak santri yang ‘mondok’ di rumahnya. Hari-harinya dilalui bersama suaminya, mengasuh dan mendidik para santri yang waktu itu jumlahnya hanya puluhan (kebanyakan anak-anak yatim dari berbagai pelosok daerah). Dengan penuh keikhlasan dan kesungguhan ia membantu suaminya mengurus segala keperluan santri layaknya mengurus anaknya sendiri tanpa pamrih, dari mulai memasak (tiga kali setiap hari untuk puluhan orang!) hingga mengurus santri yang sakit. Ya, tanpa pamrih karena pesantrennya itu tidak memungut bayaran sesen pun dari santri-santrinya sampai hari ini. Pokoknya segala sesuatu tentang dirinya begitu sempurna di mataku. Kala itu aku sering berangan-angan menjadi istri sholehah seperti beliau.

Sebenarnya cukup banyak kisah-kisah istri teladan yang dapat dibaca dari buku-buku sejarah. Sebutlah misalnya kisah keteladanan Khadijah binti khuwailid ra, Fatimah puteri Rasulullah, Asiyah binti Muzahim dan banyak lagi. Rasulullah sendiri telah mengajarkan kepada kita ciri-ciri istri sholehah. Yaitu wanita yang “apabila diperintah ia taat, apabila dipandang menyenangkan hati, dan apabila suaminya tidak berada di rumah, menjaga dirinya dan harta suaminya.”

Dilihat sepintas, ajaran Nabi SAW itu sangat mudah untuk dilaksanakan. Semua orang sepertinya bisa melakukannya. Tapi kenyataannya kenapa tidak banyak wanita yang bisa sampai ke derajat ini. Bila seorang wanita telah mengerjakan shalat lima waktu, berpuasa di bulan ramadhan, taat kepada suami dan menjaga kehormatan dirinya, maka masuklah ia ke surga. Satu lagi tuntunan Islam kepada kaum wanita khususnya bagi mereka yang sudah berumah-tangga. Hampir setiap langkahnya, terutama yang berhubungan dengan kehidupan rumah-tangganya akan selalu mendapatkan pahala.

Perjuangan menegakkan pilar-pilar rumah-tangga agar kokoh, kuat dan harmonis mendapatkan nilai dan pahala tersendiri. Tidak tanggung-tanggung, pahala yang dijanjikan sama dengan pengorbanan para pejuang yang berperang di jalan Allah. Seperti dikisahkan, suatu hari beberapa wanita mendatangi Rasulullah SAW dan bertanya: “Ya Rasulullah. Kaum lelaki kembali dengan membawa pahala perjuangan di jalan Allah, sedangkan kami [perempuan] tidak mempunyai peluang seperti mereka?” Mendengar ini beliau pun bersabda: “Jangan khawatir, bertenanglah! Mengurus rumah tangga kalian masing-masing dengan sungguh-sungguh dapat mengejar pahala syahid di jalan Allah seperti mereka.”

Akan tetapi, mengapa kelak mayoritas penghuni neraka dikatakan terdiri dari kaum wanita? Pertanyaan ini seringkali mengganggu hatiku. Setelah menjalani sendiri hampir sepuluh tahun kehidupan rumah-tangga yang dikenal sebagai ladang pahala ini, aku masih merasa sangsi apakah aku sudah tergolong dalam kategori istri sholehah seperti dimaksud itu. Ternyata … oh ternyata … betapa susahnya.

Mendirikan rumah tangga ternyata tidaklah seindah kisah kasih dalam cerita novel-novel cinta. Mengurus rumah tangga, mengasuh dan mendidik anak-anak ternyata bukanlah perkara mudah dan ringan. Berbagai tantangan dan cobaan senantiasa mengganggu. Berbagai macam ujian datang silih berganti. Pekerjaan-pekerjaan rumah yang seolah tidak pernah ada habisnya bukan saja menguras tenaga dan pikiran tapi juga betul-betul menguji kesabaran.

Karena itu tidak salah jika pahalanya sama dengan orang yang berjuang di jalan Allah. Menjaga agar rumah senantiasa bersih dan rapi, amatlah susah. Memelihara diri sendiri untuk selalu menyenangkan bila di pandang suami tercinta pun bukan hal yang mudah. Keinginan untuk selalu mengeluh justru yang lebih sering muncul. Tidak mengherankan jika Fatimah ra konon sering juga mengeluh perihal beratnya mengurus rumah tangga kepada Rasulullah saw.

Persoalan yang aku alami ini sebenarnya bukan hal yang baru. Telah banyak dibahas oleh para ahli di bidangnya. Berbagai macam kiat dan tips-tips sudah diberikan. Mulai dari cara memenej waktu sampai kepada cara memenej qalbu. Hal-hal seperti ini memang banyak membantu dalam meningkatkan kecerdasan dan keterampilan seorang istri sholehah. Tapi yang terpenting dari semua itu menurutku adalah kecerdasan mensyukuri nikmat. Hal ini kelihatannya sepele sekali, tapi justru inilah yang sering dilupakan orang. Menurutku suatu pilihan yang cerdas dalam menyikapi setiap keadaan adalah bersyukur.

Bahwa kita direpotkan oleh urusan anak-anak adalah suatu kesyukuran. Karena ternyata kita termasuk orang-orang yang terpilih diamanahi tanggung-jawab ini di antara sekian banyak ’pasutri’ yang tidak beruntung. Bahwa anak-anak kita masih bisa bertengkar, kejar-kejaran dan membuat seisi rumah seperti ’kapal pecah’ pun patut kita syukuri. Karena itu petanda mereka sehat wal afiat, ketimbang diam saja sepanjang hari karena sakit. Bahkan ketika kita tidak sempat atau belum mengecap kehidupan rumah-tangga pun tentunya masih banyak hal yang patut kita syukuri. Namun sekali lagi, tidak banyak orang yang memiliki kecerdasan ini. Kecenderungan untuk berkeluh-kesah yang justru lebih banyak terjadi.

La in syakartum la aziidannakum, jika kalian bersyukur, maka aku akan menambah nikmatmu. Jelas dari konteks ayat tersebut, bahwa bersyukur itu adalah pembuka bagi nikmat-nikmat yang lain. Dengan bersyukur akan melapangkan dada dan meringankan pekerjaan. Dengan bersyukur juga menurutku membuat orang sabar dan bisa menerima serta menjalani peran yang diberikan oleh Allah swt dalam pentas kehidupan ini.

Jadi kunci utama yang bisa mengantarkan kita menjadi istri sholehah adalah bersyukur. Dengan bersyukur maka kita akan menjadi istri yang sholehah. Bersyukur kepada Allah yang telah mengaruniai kita suami. Mau bersyukur dan pandai berterima kasih akan mendorong kita untuk melaksanakan tanggung-jawab sebagai istri dan ibu rumah-tangga dengan lebih baik lagi. Dan akhirnya dengan syukur akan menjadikan kita istri yang dicintai Allah, disayang suami dan diselamatkan dari api neraka.

Wallahu a’lam bis-showab,
Frankfurt/Main, 5 Maret 2006

No comments: