Content

Sunday, May 28, 2006

Ibu Profesional


Oleh: Andi Sri Suriati Amal

Tulisan ini tidak bermaksud menggugat atau memojokkan ibu-ibu yang memilih untuk berperan ganda. Tidak juga bermaksud menghimbau mereka yang bekerja di luar rumah untuk meninggalkan pekerjaan mereka dan tinggal di rumah saja. Sebab, bagaimanapun, tinggal di rumah terkadang bukan pilihan yang tepat untuk sebagian orang. Tulisan ini hanyalah renungan mendalam seorang ibu rumah tangga biasa yang banyak menghabiskan waktunya bersama anak-anaknya.

Seperti anda, saya pun sering mendapat pertanyaan-pertanyaan yang ‘dramatic’ dari anak-anak saya. Misalnya, pertanyaan anak saya ketika kami lagi menyaksikan liputan televisi tentang bencana tsunami di Aceh. Tak sadar, air mata mengalir, terucap istighfar dan gumam ‘ya Allah’ berulang kali dari mulut saya. Anak saya itu spontan bertanya polos: “Kok Allah jahat, ya, Ma? Kenapa orang-orang itu dikasih bencana?“ Tercengang saya mendengar pertanyaan tiba-tiba itu. Tentu saja itu bukan pertanyaan pertamanya selama ini. Masih banyak lagi pertanyaan-pertanyaan lain yang tidak hanya memerlukan kebijakan dan intelektualitas untuk menjawabnya, tetapi juga kesabaran.

Pernahkah anda membayangkan seandainya pertanyaan-pertanyaan semacam ini dilemparkan oleh anak kita kepada orang lain yang kebetulan ada bersamanya, bukan orang tuanya sendiri. Kepada pembantu rumah kita misalnya, atau kepada ‘baby sitter’ yang kita percayakan untuk menjaga anak kita sepanjang hari ketika kita berada di tempat kerja. Bisakah kita mengharapkan ‘someone else’ itu memberikan jawaban cerdas dan mendidik atas pertanyaan anak-anak kita? Dapatkah mereka merespon aksi anak-anak itu sepanjang hari seperti yang kita harapkan? Apalagi dalam masa-masa yang dikenal sebagai golden years, saat-saat dimana kepribadian anak mulai terbentuk, yakni pada usia 0-5 tahun. Anak akan belajar dari orang-orang dan lingkungan sekitarnya tentang banyak hal. Terkadang lingkungan yang kurang mendukung atau tidak mendidik sewaktu anak masih kecil mengakibatkan dampak negatif bagi pertumbuhan kepribadian anak pada usia selanjutnya. Sangat disayangkan bila hal ini sampai terjadi pada anak-anak kita.

Merawat dan mendidik anak pada era informasi dan teknologi canggih seperti sekarang ini bukanlah perkara mudah. Seperti kita semua maklum, permainan anak dan tontonannya tidak lagi berupa hal-hal sederhana, tetapi perlu perhatian dan wawasan luas karena hal tersebut memang sudah menjadi bagian dari target kapitalisme global. Setiap bentuk permainan elektronik modern dan segala bentuk hiburan tentu membawa efek-efek positif sekaligus negatif pada jiwa anak. Hasilnya, anak kita bisa tumbuh menjadi pribadi yang konsumtif, hedonistik, manja atau cengeng, disamping dampak positif lain berupa kemandirian atau kemampuan mengaktualisasikan diri pada anak. Bila keadaan ini berterusan ―anak-anak dibiarkan ‘bersama’ orang lain during most of their walking hours— maka jangan kaget jika dikemudian hari kita ‘mengurut dada’, tidak mendapati mereka seperti yang kita harapkan. Padahal, itu semua merupakan konsekuensi logis dari keputusan kita mempercayakan pendidikan anak kepada someone else. Apakah itu yang kita inginkan?

Dari sini saya melihat betapa tidak adilnya kita kepada anak-anak jika kita memilih untuk bekerja full time di luar rumah. Delapan jam kerja plus dua jam dijalan pulang pergi ke tempat kerja, berbanding hanya 3 – 4 jam bersama mereka, benar-benar tidak berimbang dan tidak adil.

Mungkin berbeda halnya jika mereka sudah beranjak remaja. Sebab, biasanya anak-anak justru sudah tidak banyak memerlukan kita. Saya jadi teringat pengalaman pahit seorang ibu yang bekerja sebagai dosen sebuah universitas terkemuka di Malaysia. Ketika dia sudah sampai ke puncak kariernya, yaitu menjadi Professor, terbersit keinginannya untuk mengambil pensiun lebih awal. “Biar saya bisa dekat dengan anak-anak,” katanya. Namun belum sampai tiga bulan di rumah, dia sudah memutuskan untuk kembali lagi ke kampus. Di rumah ternyata dia kesepian. Betapa tidak? Sejak pagi sekali hingga petang anak-anaknya bersekolah. Sesudah itu mereka sibuk les dan punya acara sendiri dengan teman-temannya. This is a tragedy of modern family,” keluhnya sambil melempar pandangan kosong nan jauh. Waktu mereka masih kecil-kecil, ia tak sempat mengurus karena bekerja full-time meniti karir. Sekarang, disaat ia ingin menjadi ‘full-time mother’, justru anak-anak itu yang tak punya waktu untuk menerima kasih-sayang ibunya. Saya pun hanya bisa simpati dan ikut tertegun.

Dalam hal ini memang sebenarnya ada jalan tengah. Andaikan kita tetap harus bekerja di luar rumah, cukup bijaksana kiranya jika kita memilih pekerjaan yang tidak menuntut kita menghabiskan lebih banyak waktu di luar. Berada di rumah sebelum anak berangkat dan pulang dari sekolah adalah pilihan yang bijaksana. Sebab, bagaimanapun, potensi dan bakat yang kita miliki juga tidak boleh dibiarkan mati. Ditunda mungkin boleh karena alasan prioritas atau alasan waktu. Atau mencoba berkarir dan meraih pendapatan dari rumah juga bisa menjadi solusi yang bijak. Yang terpentingkan sebenarnya bagaimana kita tetap bekerja dan berpenghasilan tanpa mengabaikan urusan rumah tangga.

Pilihan untuk tinggal di rumah juga sesungguhnya memerlukan skill. Misalnya keterampilan memenej waktu, menyesuaikan keperluan dengan budget, pengaturan keuangan rumah tangga, training dan supervising anak-anak kita terutama dalam hal agama dan lain sebagainya. Karena itu kitapun dituntut untuk terus meningkatkan diri dalam hal ilmu mendidik anak menurut Islam, pengetahuan keislaman mengenai rumah-tangga dengan segala aspeknya, seperti pengaturan keuangan dan lain sebagainya. Jika kerja kantoran menuntut seseorang untuk profesional, maka seorang ibu rumah-tangga semestinya lebih profesional lagi, tidak asal-asalan.

Wallahu a'lam bis showab,

No comments: