Orangtua mana yang tidak ingin anak-anaknya berprestasi? Menjadi juara kelas dan bintang di sekolah. Demi itu rela mengorbankan waktu, tenaga dan uang tidak sedikit. Pulang sekolah, anak-anak disuruh les matematika, kursus musik, latihan bela-diri, dan sebagainya. Juga disuruh belajar al-Qur’an dan ibadah sehari-hari.
Sayangnya, semua itu seringkali dibuat seperti „kewajiban“ bagi anak. Di usia yang sangat dini, anak-anak itu dicekoki berbagai macam kegiatan luar sekolah. Diprogram layaknya taruna militer, dengan jadwal padat dan disiplin yang ketat. Hanya karena orangtuanya menghendaki yang terbaik untuk mereka.
Pertanyaannya: Apakah cara mendidik seperti itu baik untuk perkembangan anak atau sebaliknya, justru menyebabkan „tekanan jiwa“ (stress) pada anak? Apakah batasan antara memacu perkembangan anak dengan merampas hak mereka sebagai kanak-kanak?
Ini kisah nyata tentang Sophia, yang baru duduk di kelas satu Sekolah Dasar. Saban hari, seusai sekolah (dari jam 8.00 hingga 12.00), ia tidak pulang ke rumah, tetapi langsung ke tempat penitipan anak (Hort) hingga pukul 4 sore. Ia baru pulang ke rumah sekitar jam 5 sore, sesudah melalui 8 jam kerja! Pagi sekolah, siang hari di Hort mengerjakan tugas-tugas sekolah, selepas itu kelas logopäden, les matematika dan kursus computer for kids.
Tentu saja orang tua Sophia menginginkan yang terbaik untuknya. Mereka ingin Sophia bisa diterima di universitas terbaik dan punya masa depan cerah.
Alasan di atas memang rasional dan terpuji. Tapi ia juga bisa berdampak sebaliknya. Terutama jika itu semua memberatkan si anak. Belum lagi bila malam harinya timbul masalah. Dalam kondisi lelah, setelah seharian bekerja, semua penghuni rumah seperti menyimpan bom waktu. Sedikit saja ada yang tak beres, emosi langsung meledak. Apalagi kalau masalah di kantor ikut dibawa pulang. Lalu mendapati anaknya belum mengerjakan PR dari sekolah. Tak heran bila orangtua Sophia lebih sering marah-marah di rumah.
Sophia yang masih kecil itu akhirnya sering mengeluh sakit perut, pusing kepala, dan sering mengigau. Setelah diperiksakan ke dokter, Sophia akhirnya dibawa ke psikiater. Kesimpulannya Sophia terkena stress. Orang tuanya tidak percaya. Mana mungkin anak-anak kena stress? Tanya mereka.
Namun temuan lembaga asuransi Jerman Deustchen Angestellten Krankenkasse (DAK) membenarkan. Satu dari lima anak di Jerman menunjukkan gejala stress. Lebih dari separuh diantaranya tidak bisa konsentrasi dan cemas, 50 % acapkali mendapat sakit kepala, sakit perut dan menjadi agresif. Lalu 17 % mengeluh susah tidur dan sering mengingau. Dan hampir semuanya mengaku sering mengalami sakit perut.
Faktor penyebabnya antara lain sebagai berikut:
- Komputer game
Menurutnya, permainan seperti ini memberikan tekanan. Tapi tekanan tersebut susah keluar menyebabkan keluar masuknya emosi tidak lancar.
- Harapan orang tua yang terlalu tinggi.
Ini disebabkan karena orang tua memiliki satu atau dua anak saja, sehingga tumpuan hanya tercurah ke satu atau dua anak saja.
- Orang tuanya sendiri mengalami stress.
Misalnya orang tua yang mengalami tekanan ditempat kerja, takut di PHK dan lain sebagainya.
- Terlalu cemas dengan prestasi anak di sekolah.
Berikut ini ciri-ciri anak yang terkena stress :
- Lebih suka tinggal (mengurung diri) di rumah.
- Lebih senang bermain sendiri (ketimbang bermain bersama anak-anak lain). Lebih suka menonton tivi, main game di komputer, dsb.
- Di sekolah suka menyendiri.
- Tidak bergairah dan kelihatan letih.
- Sering mengeluh sakit kepala.
- Susah tidur dan sering mengigau.
- Hilang nafsu makan.
- Susah konsentrasi, sering lupa jadwal pelajaran.
- Tidak punya kreativitas atau idea untuk menciptakan permainan sendiri.
Stress memang dapat terjadi di mana, kapan dan pada siapa saja. Stres bukan monopoli orang dewasa saja. Ia bisa menimpa anak-anak, bahkan bayi. Konon, ikan dan pohon-pohon pun bisa mengalami stres.
Stress acapkali muncul karena salah-urus (mismanagement). Kontrol terhadap stress memiliki peranan yang penting dalam menentukan level stress yang akan kita alami. Karenanya stress hanya perlu diatur. Kadang-kadang stress justru diperlukan (oleh orang dewasa) untuk memacu mencapai target.
Namun tidak bagi anak-anak. Stress dapat menyebabkan gangguan kesehatan fisik pada anak, seperti asma, demam tinggi, migraine, gangguan pencernaan seperti kolik, peptic ulcer, dan lain-lain.
Pentingnya waktu luang (bebas melakukan apa saja) untuk anak:
Menurut para ahli, anak-anak memerlukan minimal 3 jam waktu bebas (free time) dalam sehari hari agar tidak stress. Saran untuk orang tua:
- Perhatikan jadwal kegiatan anak anda dalam jadwal hariannya, terlalu banyak atau tidak.
- Perhatikan apakah anak anda setiap hari ada kegiatan seperti kursus atau les yang diatur sendiri oleh orang tuanya, coba kurangi.
- Apakah perjalanan pulang pergi dari dan ke tempat kursusnya memakan waktu yang lama. Jika terlalu jauh, batalkan. Cari tempat kursus yang dekat.
- Hitung berapa waktu luang yang dia punya. Waktu luang yang dimaksudkan adalah waktu yang dimiliki anak untuk melakukan kegiatan yang diinginkannya sendiri, bukan kegiatan yang diatur oleh orangtuanya. Jika kurang dari tiga jam, waktu luangnya harus ditambah.
Cara-cara mengatasi stress pada anak:
- Dosis yang seimbang antara jam kerja anak dengan waktu istirahat yang diperlukannya.
- Keseimbangan antara stress dan relaksasi.
- Aspek personal yang diperlukan anak,
- Pengertian dari orang tua
- Kasih sayang dari orang tua dan lingkungannya
- Adanya kehangatan di rumah
- Main bebas
- Cukup tidur
- Makanan yang sehat dan bergizi
- Banyak gerak
- Aspek-aspek yang dapat dibangun oleh keluarga, seperti:
- Membangun kepercayaan kepada anak, terutama pada awal kehidupannya.
- Menjadi keluarga yang supportif dan teman yang baik.
- Setiap anggota keluarga memperlihatkan perhatian dan kehangatan.
- Satiap anggota keluarga memiliki harapan yang tinggi dan jelas tapi tidak kaku.
- Melibatkan anak-anak dalam segala kegiatan yang bermanfaat untuk keluarga.
- Jagalah hubungan dan komunikasi yang baik dengan guru sehingga ibu bisa mendapatkan data terhadap peristiwa apa yang terjadi selama anak berada di sekolah.
- Membantu anak menyelesaikan tugasnya, dalam arti memberikan motivasi sehingga anak berkata, „Saya bisa mengerjakannya sendiri“.
- Membangun keluarga yang kuat.
Hal-hal yang membantu anak mengatasi stress:
- Hubungan harmonis dengan orang tuanya atau keluarga dekatnya, misal kakek atau nenek.
- Keterampilan bersosial yang baik.
- Kemampuan menyelesaikan masalah dengan baik.
- Mampu mengambil keputusan sendiri.
- Memiliki tujuan dan arah.
- Memiliki perasaan harga diri yang positif dan rasa tanggung jawab.
- Komitmen pada agama.
- Kemampuan untuk perhatian pada fokus.
- Memliki spesial interest dan hobbi.
Anak yang stress bisa segera pulih jika orang-orang di sekelilingnya suportif, ikut mengatasi dan bukan malah menambahi. Jadi, tidak masalah sepadat apapun jadwal harian mereka, asalkan anak-anak itu diberi cukup waktu untuk bebas bermain dan relax. Biarkan mereka belajar mengenal dunianya, mencoba ide-ide kreatifnya, hingga menemukan kepuasaan dari sana, pe-de dan punya rasa bangga atas kemampuannya (self-esteem).
Seyogyanya orang tua tidak mengabaikan hak mereka sebagai kanak-kanak, hanya karena harapan-harapan yang membumbung tinggi. Alih-alih membangun minat dan bakat atau memacu prestasi, tanpa sadar malah menghancurkan masa depan mereka.
Frankfurt/Main, 22 Mei 2006
No comments:
Post a Comment